Jeprut adalah sesuatu yang “putus”, yang tak “main stream”, yang entah apa. Dia adalah kapas sebelum menjadi kain, dan kain sebelum menjadi baju. Jeprut itu mencari atau menemukan. Jeprut terjadi karena seseorang (siapapun) mendekonstruksi dirinya, dan “lelah” dengan apa yang (sudah) ada (di lingkungannya minimal). Lalu Jeprut menjadi beras kembali yang siap menjadi lontong, menjadi ketupat, menjadi bubur. Karenanya dia – Jeprut – itu tak keberatan dibilang/disebut “bukan” kesenian. Jeprut berpihak pada lima indera, satu nurani, satu intuisi, dan banyak – amat banyak – kemungkinan.
Ciri Jeprut itu : mesti jujur, mesti mempertanyakan, mungkin mesti tak tahu mau apa sebenarnya, butuh sadar lingkungan, butuh menghargai dan sadar akan total (self-selves) yang ada di sekitarnya, manusia, benda, ruang, dll. Dan melebur dalam : desa, kala, patra (tempat-ruang ; waktu-kronologis ; situasi-suasana-yang real), untuk mencoba kembali menyatukan rasa, vibrasi, kesementaraan (dalam waktu linear).
Jepruter berharap memberikan tontonan yang (maunya) “mengetuk, menusuk, menggedor, mengajak, merasakan dalam kehadiran langsung, mengkilik-kilik, mengajak bertanya dan ‘share’ dengan yang lain, ‘other self’, mungkin waktu lain, ruang lain, komunikasi lain apapun namanya“. – meningkat pada (maunya yang lain) seperti : saling mengingatkan, saling menguatkan, saling berbagi enerji, dalam perjalanan singkat kehidupan.
Jeprut (selalu) lahir dalam diri raga, diri jiwa, diri batin, ketika manusia bermetamorfosa mencari, mencari, mencari, mencari, dan mencari, sampai menemukan, menemukan, menemukan, entah apa …..
Perjalanan siklus mencari – menemukan – mencari mungkin sebuah tapak lacak berupa karya atau tan karya, ada atau tiada, mengemuka atau tenggelam, sepi atau hingar bingar, komedi atau tragedi, kaku atau lentur, besar atau kecil ….. tapi selalu ada ….. selalu ada.
Jeprutan (sebagai suatu action) mungkin berupa keserempakan menerima dan memberi. Saling membukakan. Kejujuran yang dilatih dari hari ke hari. Karena percaya (tiap) manusia yang mengasah pikirannya, mengasah rasa (kawruh rasa)nya, tubuhnya akan (selalu) menangkap pesan-pesan semesta dari sesuatu yang hina dina, kecil, sampah, tak bermartabat, pinggiran, karena percaya setiap eksistensi adalah Jalan. Adalah Tao. Adalah Enigma. Adalah Rahasia.
“Merasa lebih adalah mengakui kekurangan yang tak disadari. Merasa kurang adalah berbeda, yang merupakan awal dari kesadaran (akan) semesta”.
Jeprutan barangkali adalah “egaliterianisme” dan memahami, bukan instruksi dan indoktrinasi. Mengalir tidak beku. Meleleh smeleh. Merasakan sama-sama. Belajar sama-sama. Memahami dan tak memahami. Sudah dan akan. Akan dan sedang. Sedang mengalami.
Jadi jika mau bergetar juga, masuklah saja dengan ikhlas, lalu mengalir bersama. Menuju laut ….. laut dalam diri sendiri, ketika ada, ketika tiada ada. Laut dalam kecipak sama-sama, karena manusia ibarat ikan dalam selongsong kulit – daging - tulang.
“ ….. Aku hanya tidak tahu ….. kadang hidup dapat dengan mudah dimengerti dan diuraikan, tapi bagian yang lain selalu menjadi misteri dan dipertanyakan”.
Seperti bilangan prima, tak habis dibagi ….. selalu tak habis dibagi ….. !
Dari sejak angka-angka lahir, sampai (entah kapan) angka-angka kembali.
Dari kosong kosong ke ada ada ke kosong kosong kembali.
Jepruter
E- : ayi_noe@yahoo.com
Blog : http://ayinoe-jeprut.blogspot.com
: dari berbagai sumber (Tisna Sanjaya, dll), dan ada beberapa wacana dari pengalaman penulis.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar